Pembangunan berkelanjutan diawali karena adanya peningkatan jumlah penduduk yang diikuti dengan meningkatnya aktivitas dan intensitas eksploitasi sumber daya alam serta jumlah limbah yang mengganggu keseimbangan ekosistem sehingga menimbulkan kecemasan terhadap penurunan daya dukung alam sebagai system penyangga kehidupan. Aspek fisik lahan lebih mengarah pada kepentingan kelestarian alam dan aspek sosial ekonomi lebih
mengutamakan pada kesejateraan masyarakat. Namun demikan, upaya keselarasan dua kepentingan tersebut menjadi hal yang penting guna dapat memberikan manfaat yang berkesinambungan
Didalam UU Nomor 26 tahun 2007 mengenai Penataan Ruang dinyatakan bahwa pemanfaatan ruang pada perencanaan wilayah harus memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Hal ini dikarenakan apabila suatu lahan tidak sesuai dengan peruntukkan dan kemampuannya dapat mengakitbakan kondisi kritis dalam jangka waktu tertentu.
Gambar: Tata Guna Lahan dan Lahan terbangun di Expo Waena
Pemanfaatan ruang yang tidak diatur dengan baik dapat menimbulkan ketidakseimbangan dalam lingkungan hidup. Jika tidak sesuai dalam peruntukkannya dapat berakibat pada kondisi yang lebih kritis dalam jangka waktu tertentu di masa depan. Satuan lahan yang sesuai bagi pemukiman harus mencakup lingkungan fisik pada kategori yang sesuai termasuk didalamnya iklim, topografi,relief, tanah, hidrologi dan vegetasi sebagai satuan lahan yang saling beriteraksi erat.
Sistem tata guna lahan yang baik bagian dari upaya merencanakan penggunaan lahan dan pembagian wilayah dalam suatu kawasan untuk pengkhususan fungsi-fungsi tertentu yakni fungsi pemukiman, perdagangan, industri, dll. Rencana tata guna lahan merupakan kerangka kerja yang menetapkan keputusan-keputusan terkait tentang lokasi, kapasitas, dan jadwal pembuatan jalan, saluran air bersih dan air limbah, gedung sekolah, pusat kesehatan, taman dan pusat-pusat pelayanan serta fasilitas umum lainnya. Jadi, peruntukan lahan akan menentukan jenis bangunan yang boleh didirikan pada sebuah lokasi.
Kebijakan peruntukan lahan atau penataan ruang di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan PP Nomor 8 Tahun 2013 sebagai Acuan Peta Rencana Tata Ruang. Penataan ruang dilakukan secara terpadu, menyeluruh, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, dengan transparansi, akuntabilitas, demokratis, dan perlindungan hukum sebagai dasar utamanya. Peruntukan lahan yang tertata diharapkan mampu mewadahi seluruh kepentingan secara optimal dalam ruang itu sendiri, maupun dalam ruang daerah sebagai wadah kegiatan sosial dan ekonomi masyarakat. Peruntukan lahan yang ada juga harus mampu mengakomodasi kepentingan semua pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat secara adil, berkesinambungan, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang, sejalan dengan peningkatan dan perkembangan dinamika kebutuhan.
Dalam Peraturan Menteri No. 41/PRT/M/2007 tentang Modul Terapan Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya, adapun ketentuan mengenai permukiman, untuk menjelaskan kreteria kesesuaian lahan permukiman antara lain:
  • Topografi datar sampai bergelombang (kelerengan lahan 0 - 25%)
  • Tersedia sumber air, baik air tanah maupun air yang diolah oleh penyelenggara dengan jumlah yang cukup. Untuk air PDAM suplai air antara 60 liter/org/hari - 100 liter/org/hari.
  • Tidak berada pada daerah rawan bencana (longsor, banjir, erosi , abrasi).
  • Drainase baik sampai sedang.
  • Tidak berada pada wilayah sempadan sungai, pantai, waduk, danau, mata air, saluran pengairan, rel kereta api dan daerah aman penerbangan.
  • Tidak berada pada kawasan lindung.
  • Tidak terletak pada kawasan budi daya pertanian/penyangga.
  • Menghindari sawah irigasi teknis.
Analisa yang tepat untuk melakukan valuasi pemukinan yang kian harus benar-benar memastikan kondisi fisik fisik lingkungan hidup dalam daya tampung dan daya dukung lingkungan. Pertimbangan yang tepat dan efesien akan memberikan arahan yang tepat dalam rekomendasikan berbagai kegiatan/aktivitas manusia disuatu wilayah pemukiman. Perumusan kebijakan yang tepat tentu tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap terjadinya ganguan yang tidak dikehendaki di masa-masa yang akan datang.
Memang di perlukan berbagai pendekatan termasuk melihat pengaturan ketinggian bangunan dengan perencaanaan spasial yang membahas pemanfaatan ruang kearah vertikal. Meskipun megkaji pemanfaatan ruang arah vertikal namun diperlukan dukungan aspek fisik lingkungan yang menempati ruang horisontal. Kemapuan lahan yang ditentukan bedasarkan fisik lingkungan merupakan faktor penting yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan, supaya dapat memberi perlindungan dan menjamin keberadaan ruang-ruang yang berfungsi memproteksi lingkungan alamiah. Upaya mengkaitkan pembangunan berkelanjutan, pembangunan keruangan dan pengaturan batas ketinggian bangunan diharapkan dapat memunculkan kebijakan terkait penentuan zona dimana gedung bertingkat tinggi diijinkan dan zona ketinggian bangunan dibatasi.