Bapak Lukas Enembe Gubernur Papua 2 Periode 2013-2023

Sejak Pak LE ditangkap, polemik jadi cukup tegang, rupanya di media Sosial banyak pandangan buruk warga Indonesia bukan hanya ditujukan kepada LE tapi setelah mencermati tiap frase rupanya main blowingnya adalah  adanya pandangan diskresi fulgar, termasuk makna merendahkan dan terbelakang. 

Di Papua banyak orang pintar yang tumbuh secara alami, jika peradaban kami sama seperti Cina, India, timur tengah atau memiliki power sistem dimasa lalu kami pasti tumbuh hebat dan berkembang seperti manusia global lainnya.

Diskriminatif berbasis primordial, fragmen kekuasaan yang power ternyata cukup jelas dalam demokrasi disemua lini. Ini sebuah dialetika yang kompleks ketika saudara kami dari berbagai suku lainya hidup ditanah ini, nilai sosialis yang tumbuh secara natur masih memelihara kekeluargaan dan kemanusiaan hidup dalam nuangsa kePapuaan. Tapi rupanya  ada juga yang terus memainkan polarisasi tersistem dan masif hingga dalam perjalanannya melahirkan fragmentasi golongan dan etnik diatas tanah ini tiap suku diberikan ruang politis pada wilayah kesukaan pasca lahirnya DOB. 

Ini bukan tentang 1 periode, tapi ini tentang 100 tahun tentang 1000 tahun dimana kami mulai terjatuh dan belum terbentuk kekuatan karena distribusinya mandet di Pusat segalanya dikendalikan oleh pusat, seperti manusia dan robot dalam satu tubuh ada emosi tapi dikontrol.  

Padangan trias politica yang diterapkan dalam  pembagian kekuasan yang seharusnya merata memenuhi semua unsur, tapi kemudian diambil alih oleh power system oligargi termasuk politik luar negeri dan keharusan negara membayar hutan negara. Walau demikian pemerintahan di negara ini terkombinasi oleh sistem pemerintahan dan sistem kepartaian, sistem presidensial dan multi partai, tidak mendukung terciptanya sebuah pemerintahan yang efektif dan stabil.  Sistem multi partai dan presidensil dirasa memiliki selera yang rasanya belum berjalan seirama yang kemudian melahirkan keputusan yang kompleks dan butuh waktu yang cukup. Misalnya yang sulit ialah mendorong komunitas kultur terintegrasi dalam pemerintahan atau paling tidak melahirkan keperpihakan kebijakan kepada masyarakat adat sebagai bentuk yuridiksi, kedaulatan ruang, politik dan hukum adat seperti rasanya sulit dan suram.

Alhasil karena kita adalah wilayah khusus, yang harus diperlakukan secara khusus karena ada sejumlah irisan termasuk yang paling kompleks dibahas adalah cerita sejarahnya. Sejarah ini harus diselesaikan dan dituntaskan.  Ada 4 rahim Papua  memandang  DOB, rahim inilah yang terus membangun dinimika dan perjalanan Papua hingga kini, karena tiap warga memiliki kesempatan yang sama cuma kesempatan itu terbentur oleh sel-sel primordial makanya kita selalu saling tuding menuding. 

Kita harus melangkah dari mana?. Pertanyaan ini semacam pedang bermata 2 yang bertanya kepada Orang Papua yang terlahir melalui 4 rahim (OAP, Bapa/Mama Papua/Non OAP, Non OAP Lahir dan Besar di Papua). Pula kepada Negara Indonesia terkait apakah keadilan ini sepenuhnya dibumikan di Papua. Akulturasi peradaban manusia dalam dimensi kebudayaan turut mempengaruhi keaslian dan kemurnian kebudaya suku bangsa di Papua. Nilai-nilai baru yang sepertinya lebih baik, gamblang dan dibenarkan jauh lebih mudah, gampang dan singkat. Warna-warni kehidupan partai manusia dalam politik telah jadi semacam diskursus yang yang menciptakan fragmentasi, partai oposisi, kekuasaan yang menang telak, primordialisme kekuasaan termasuk demokrasi yang bungkus dengan hitungan ekonomis. Misalnya sudah menjadi masalah klasik bahwa ongkos dalam sebuah proses pemilihan jauh lebih besar dengan dukungan para kepentingan disemua lini. Pembahasan ini terkait kita harus kemana?. Lukas Enembe jadi terani politik partai dan birokrasi yang sulit dipahami hati orang-orang yang ada didalam sistemnya. Saat ini seperti rasanya beliau ditelangjangi dimata umat manusia di dunia ini. Dugaan dengan delik kasus yang terdaftar dengan murahnya  jadi bahan jualan dipasar media massa. Lukas Seperti ibarat Pejabat Papua digiring ke pemaknaan elit Papua hidupnya hedom yang sepertinya bakal menjadi alasan kuat Indonesia untuk menyatakan dan membuktikan secara hukum ke dunia dan atau bangsa-bangsa lain melalui perserikatan bangsa-bangsa bahwa masyarakat Papua Miskin karena Pejabat Hidup Makan Uang Rakyat.

Dalam persidangan Lukas Enembe berkata "Seandainya saya mati, pasti yang membunuh saya adalah KPK, dan saya sebagai kepala adat, akan menyebabkan rakyat Papua menjadi marah dan kecewa berat terhadap KPK penyebab kematian saya," demikian keberatan Lukas Enembe yang dibacakan oleh Petrus dalam sidang di PN Tipikor Jakarta, Senin (19/6/2023). Hal ini kemudian jadi polemik dalam pembahasan di Acara Kalam Kristus: (581) PARADOX PAPUA S-II/E-29 : LUKAS ENEMBE MENINGGAL - KPK HARUS BERTANGUNG-JAWAB - JANGAN SAMPAI !? - YouTube. Menegasikan bahwa kisah  yang menimpa LE juga telah banyak yang mengalaminya bagi para birokrat, politik yang berkarier untuk Negara Indonesia. Pesan ini bukan pula hanya beralamat kepada KPK/hegomininya tapi pesan yang ditangkap oleh masyarakat sipil Papua bahkan keluarga LE. Jika dihubungan dengan cerita dari kampung tentang pengetahuan lokal orang-orang Papua tentang masa depan Papua dalam alam pikiran metafisik yang perlu dimaknai dalam arus akulturasi dan pembangunan disemua lini.

Democracy for Sale adalah suatu keadaan dimana Indonesia telah berada pada posisi demokrasi yang kian menurun, banyak ongkus untuk amankan kepentingan. Kebebasan yang dijamin oleh Udang-undang menjadi segregasi trias politica yang sebetulnya dijamin dalam konstitusi dan regulasi. Represi kekuasan, budaya dan militer telah dipelihara untuk mengamankan janji politik dan hutang negara. Pada akhirnya Indonesia terus memainkan politik bebas aktif agar galang diplomasi dan investasi dalam negeri.

Lukas telah mengawal Papua dalam satu dekade ini agar tidak boleh pisah atau berdiri sendiri-sendiri dalam orientasi kebudayaan/suku, tapi kemudian dihancurkan dalam sekejab dengan UU Otsus 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusu dan UU 14,15,16 berkenaan dengan 3 DOB di Papua. Lantas kita bertanya siapa dalangnya?. Pertanyaan ini harus dijawab secara holistik dan komperhensip agar kemudian posisi orang Papua diatas tanahnya terbuka dalam cengkraman politik pembangunan nasional ini.

Kita perlu jawaban tentang kekuatan rakyat "peoples power". Kekuatan rakyat cerdas, teroganisir, terstruktur, ilmiah, inovatif dan sosialis perlu muncul secara utuh sebagai kesatuan Tanah Papua. Tanah Kita Negri Kita, suku kita ciri kita, Papua mama dan ibu dari Sorong - Samarai