Pulau Gag terletak di bagian barat Kepulauan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. Secara geografis, Pulau Gag berada di lepas pantai barat Waigeo, salah satu pulau utama di Raja Ampat. Pulau ini berada di koordinat sekitar 0°26′ LS (Lintang Selatan), 129°50′ BT (Bujur Timur). Sekitar 150 km dari Kota Sorong dengan luas 41.992 Hektar.

 Pulau Gag terkenal karena kekayaan sumber daya nikel dan sekaligus berada dalam kawasan yang merupakan bagian dari Coral Triangle, wilayah segitiga karang dunia yang sangat penting secara ekologis dan biologis. Meskipun pulau ini relatif kecil, keberadaannya sangat strategis baik dari sisi ekologi maupun ekonomi, yang menjadikannya titik penting dalam diskusi konservasi dan pertambangan di Indonesia Timur.

 Tambang nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, menjadi sorotan karena lokasinya yang berada di kawasan konservasi laut dunia. Operasi pertambangan ini dijalankan oleh PT Gag Nikel, anak perusahaan PT ANTAM Tbk, dengan luas konsesi sekitar 13.136 hektare, mencakup hampir seluruh daratan dan perairan Pulau Gag

PT Gag Nikel mulai beroperasi secara komersial di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, pada tahun 2018. Sebelumnya, perusahaan ini telah mengantongi Izin Operasi Produksi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 30 Desember 2017 .(responsibleminingindonesia.id) 

Sejak memulai produksi, PT Gag Nikel telah meningkatkan kapasitas produksinya dari sekitar 912.899 ton bijih nikel pada tahun 2018 menjadi 3 juta ton pada tahun 2022. Perusahaan ini juga telah memberikan kontribusi signifikan kepada negara melalui setoran pajak dan non-pajak yang mencapai total Rp2,1 triliun antara tahun 2018 hingga 2023 .(responsibleminingindonesia.id, papua-barat.wahananews.co)

 Namun, aktivitas pertambangan ini tidak lepas dari kontroversi. Masyarakat adat, khususnya Suku Kawei, telah menyuarakan penolakan terhadap kegiatan tambang dan menuntut kompensasi atas lahan adat yang digunakan tanpa ganti rugi yang memadai. Pada Agustus 2024, mereka menggelar aksi damai menuntut pembayaran dana royalti sebesar Rp550 miliar yang belum diterima sejak perusahaan beroperasi .(suarapapua.com)

Situasi ini mencerminkan kompleksitas antara upaya pembangunan ekonomi melalui pertambangan dan pelestarian lingkungan serta hak-hak masyarakat adat di wilayah konservasi seperti Raja Ampat.


"Nikel bisa ditambang di banyak tempat, tapi tidak ada cadangan kedua untuk surga seperti Raja Ampat"

Peta 3D pulau Gag, Raja Ampat

Pulau Gag di Raja Ampat bukan sekadar hamparan tanah yang menyimpan logam mulia di perut buminya. Ia adalah warisan alam dunia, bagian dari geopark yang menyuarakan keheningan hutan, kejernihan laut birunya, dan nyanyian kehidupan bawah air yang tak ternilai. Di balik kekayaan nikel yang terkandung, tersimpan kehidupan masyarakat adat dan ekosistem unik yang telah menjaga keseimbangan selama ribuan tahun.

Namun, ketika nikel mulai digali, suara alam mulai tergantikan oleh deru mesin. Tambang membawa janji kemakmuran, tapi juga ancaman akan hilangnya sesuatu yang tak bisa dikembalikan: keindahan murni dan keharmonisan antara manusia dan alam. Raja Ampat adalah surga yang tak bisa direplikasi; jika rusak karena keserakahan, tak ada investasi yang mampu membangunnya kembali seperti sedia kala. 

Untuk atas nama mimpi target energi terbaharukan dalam terani birokrasi serta kroninya dengar celoteh dari rakyat bawah bahwa bijaklah dalam memilih jalan pembangunan. Nikel memang bernilai tinggi, tetapi kehormatan menjaga bumi jauh lebih mulia. Warisan dunia termasuk Pulau Gag bukan untuk ditambang, tetapi untuk dikenang, dijaga, dan diwariskan. Karena kekayaan sejati bukanlah logam di dalam tanah, melainkan kehidupan yang tumbuh di atasnya.