Perencanaan hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan kerangka teknis dan spasial yang menetapkan bagaimana kawasan hutan dikelola secara terstruktur dan berkelanjutan. Tata hutan ini mencakup pembagian kawasan berdasarkan fungsi (konservasi, lindung, dan produksi), serta pembangian blok berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi. Dalam sistem KPH, hutan dibagi menjadi blok-blok pengelolaan yang disesuaikan dengan kondisi biofisik dan sosial ekonomi lokal, untuk kemudian disusun Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang (RPHJP). Tujuan utamanya adalah menjamin keberlanjutan fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial dari hutan, dengan pendekatan berbasis tapak (site-level management).
Perencanaan tata hutan saat ini
tangah memanfaatkan pendekatan digital spasial yang merupakan metode modern
yang memanfaatkan teknologi untuk mengelola hutan secara efektif dan
berkelanjutan kasus pada tata hutan pengelolaan KPH. Pendekatan ini melibatkan
penggunaan data geospasial, pemodelan spasial, dan analisis geospasial untuk
merencanakan pengelolaan hutan yang lebih baik. Tata Hutan KPHP Raja Ampat
1. Penggunaan Data Geospasial:
Teknologi seperti penginderaan jarak jauh (Remote Sensing) dan Sistem
Informasi Geografis (SIG/GIS) digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis
data tentang kondisi hutan, termasuk jenis tanaman, kawasan hutan, dan
perubahan lahan.
2. Pemodelan
Spasial: Pemodelan spasial membantu dalam merencanakan penggunaan lahan yang
optimal dan berkelanjutan. Ini termasuk memprediksi potensi deforestasi,
degradasi, perubahan lahan dan merencanakan upaya pencegahan.
3. Analisis
Kebijakan: Pendekatan ini juga membantu dalam mengevaluasi kebijakan kehutanan
dan menentukan strategi yang paling efektif untuk menjaga kelestarian hutan.
4. Kolaborasi
Antar Sektor: Integrasi data dan kolaborasi antar sektor seperti kehutanan,
pertanian, dan pariwisata dapat membantu dalam pengelolaan hutan yang lebih
holistik dan berkelanjutan.
Pendekatan spasial dalam perencanaan tata hutan memungkinkan pengambilan
keputusan yang lebih informasi dan berbasis data, yang pada akhirnya dapat
membantu menjaga kelestarian hutan dan ekosistemnya.
Dalam prosesnya perencanaan tata hutan bagian suatu rujukan yang saling
berkaitan erat, dari sisi regulasi, perlindungan Kawasan, ekosistem dan kehati
serta meningkatkan kemandirian dan ekonomi yang berkeadilan dengan memberikan
posisi yang inklusi bagi kesejahteraan Masyarakat, sejumlah rujukan perencanaan
hutan:
· Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja & Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun
2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang;
· Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan sebagaimana telah dirubah melalui
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja;
· Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Kehutanan;
· Peraturan Pemerintah No. 106
Tahun 2021 tentang Kewenangan dan Kelembagaan Pelaksanaan Kebijakan Otonomi
Khusus Provinsi Papua;
· Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan
Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Serta Penggunaan
Kawasan Hutan;
· Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan
Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan
Produksi;
· Penyelarasan arahan RKTP,
FOLU Net Sink, Rencana Tata Ruang Provinsi dan Kabupaten/Kota, arahan kajian
lingkungan hidup strategis, rencana strategis kehutanan Tingkat provinsi,
rencana aksi mitigasi dan berbagai dokumen lain yang akan menjadi refensi dalam
perencanaan blok dan petak agar kemudian di adjustment sedemikian sesuai untuk
pengelolaan hutan selama 10 (sepuluh tahun).
5. Perencanaan tata hutan
sebagaimana tertuan dalam Permen LHK No.8/2021 dilaksanakan melalui beberapa
tahapan mulai, dari Inventarisasi ) Status, penggunaan dan penutupan lahan,
jenis tanha, kelerengan/topograsi, iklim, hidrologi, bentang alam dan
gejalanya, Gambaran flora fauna, jenis, potensi, sebarann pemanfaatan Kawasan,
jenis jasa lingkungan, hhk, hhbk, kondisi sosial, ekonomi dan budaya
Masyarakat, potensi konflik dan aksesibitas).
6. Dalam perencanaan tata hutan
di tentukan melalui blok/petak, harus terintegrasi dengan skema perizinan yang
ada, hak pengelolaan, penggunaan Kawasan, termasuk pemegang izin PS. Pada
tahapan ini harus benar-benar memperhatikan karakteristik biofisik lapangan,
kondisi sosial ekonomi masyarakat, potensi Kawasan, jasling, HHK dan HHBK,
keberadaan perijinan, RKTN, RKTP, arahan pemanfaatan pada hutan lindung dan
produksi, PIAPS dan PIPPIB
7. Penataan Batas berdasarkan
rancangan tata hutan dengan memperhatikan jenis pengelolaan yang diusulkan.
8. Pemetaan Tata Hutan untuk
menghasilkan peta tata hutan yang memuta batas blok pengelolaan yang disahkan
oleh Menteri/dirjen.
9. Keterlibatan para pihak
melalui konsultasi public untuk mendapatkan masukkan dan kesepahaman Bersama
mulai masyarakat pemilik ulayat, pemerintah kampung/distrik, Pemda, Mitra Pembangunan, Akademisi dan
stakeholder yang relevan
10. Proses akan menyepakati
perencanaan tata hutan yang akan di dokumentasikan dalam rencana pengelolaan
mulai dari deskripsi, visi/misi, Analisa dan proyeksi (SWOT) dan rencana
kegiatan selama 10 tahun. Adapun kesepakatan tata hutan yang dihasilkan adalah
3 Blok Pada hutan Lindung ( Blok inti, Blok Pemanfaatan dan Blok Khusus) dan 3
Blok pada hutan Produski ( Blok Pemanfaatan, Blok Perlindungan dan Blok Khusus)
Namun, dalam praktiknya, tata hutan
yang sudah dirancang oleh KPH sering kali berbenturan dengan kepentingan sektor
lain, khususnya pertambangan. Perizinan tambang, terutama Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH), dikeluarkan
oleh pemerintah pusat melalui Kementerian ESDM dan KLHK, tanpa koordinasi yang
kuat dengan unit pengelola KPH di daerah. Akibatnya, banyak kasus di mana
kawasan yang telah ditetapkan sebagai hutan lindung atau zona konservasi di
dalam KPH, justru dikuasai oleh izin tambang. Hal ini menciptakan konflik tata
ruang dan menghambat pelaksanaan rencana kelola hutan yang telah disusun KPH.
Keterlibatan KPH dalam proses perizinan tambang saat ini masih sangat terbatas. KPH tidak memiliki kewenangan memberikan persetujuan atau penolakan atas izin tambang yang masuk ke wilayah kerjanya. Bahkan, rekomendasi teknis dari KPH pun kerap tidak diakomodasi dalam proses OSS (Online Single Submission) perizinan nasional. Ketimpangan ini menimbulkan berbagai masalah di lapangan, seperti tumpang tindih pemanfaatan ruang, pembukaan kawasan hutan tanpa rencana reklamasi yang jelas, serta hilangnya fungsi lindung di blok-blok yang sebelumnya telah dirancang untuk perlindungan mata air, habitat satwa, atau perlindungan tanah.
Meskipun demikian, KPH tetap dapat memainkan peran penting dalam mitigasi dampak tambang di kawasan hutan. Mereka dapat melakukan pemantauan lapangan terhadap aktivitas tambang, memverifikasi kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban IPPKH, dan menyusun laporan kerusakan ekologis untuk dijadikan dasar tuntutan reklamasi. KPH juga bisa mengajukan revisi tata hutan jika terjadi degradasi, serta memperkuat kolaborasi dengan pemerintah daerah dan masyarakat untuk melindungi fungsi hutan yang tersisa. Dalam jangka panjang, penguatan kapasitas teknis dan hukum KPH sangat penting agar mereka bisa menjadi aktor utama dalam tata kelola hutan yang berdaulat.
Untuk menjamin keterpaduan antara pengelolaan hutan dan eksploitasi tambang, dibutuhkan reformasi sistem perizinan agar mempertimbangkan rencana tata hutan KPH secara utuh. Salah satu solusi adalah mewajibkan pelibatan KPH dalam tahap awal perizinan tambang, serta menjadikan RPHJP sebagai dokumen rujukan utama dalam keputusan pemanfaatan kawasan hutan. Tanpa integrasi ini, akan terus terjadi konflik tata ruang dan kerusakan ekologis yang berdampak jangka panjang bagi keberlanjutan fungsi hutan dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung padanya.
Berbicara kasus tambang nikel di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, dijalankan oleh PT Gag Nikel, anak perusahaan dari PT Aneka Tambang Tbk (Antam). Perusahaan ini memegang konsesi tambang nikel dengan luas mencapai sekitar 13.136 hektare, yang terdiri dari wilayah daratan sekitar 6.060 hektare dan wilayah laut sebesar 7.076 hektare. Konsesi ini secara administratif mencakup hampir seluruh Pulau Gag yang luasnya sekitar 6.500 hektare. Meski begitu, berdasarkan ketentuan hukum kehutanan, aktivitas pertambangan dalam kawasan hutan lindung tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan wajib memperoleh Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) dari pemerintah.
IPPKH untuk tambang di Pulau Gag diterbitkan pada tahun 2015 melalui Keputusan Kepala BKPM atas nama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan nomor izin 19/1/IPPKH/PMA/2015. IPPKH ini memberikan izin penggunaan kawasan hutan lindung seluas 603 hektare untuk keperluan pertambangan nikel. Dengan izin tersebut, PT Gag Nikel berkewajiban memenuhi syarat-syarat administratif dan teknis, termasuk dokumen Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL), penyusunan rencana reklamasi, dan kompensasi kerusakan ekologis. Izin ini menjadi dasar legal bagi perusahaan untuk memulai kegiatan konstruksi tambang dan membangun infrastruktur pendukung di wilayah yang sensitif secara ekologis.
Setelah IPPKH diterbitkan, PT Gag Nikel kemudian memperoleh Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) pada 30 November 2017, berdasarkan Surat Keputusan No. 430.K/30/DJB/2017 dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Dengan lengkapnya izin tersebut, perusahaan mulai melaksanakan konstruksi dan pengapalan pertama bijih nikel pada awal 2018. Sejak saat itu, produksi nikel dari Pulau Gag terus berlanjut, dengan volume produksi yang terus meningkat setiap tahunnya. Kegiatan ini menandai kembalinya operasi tambang di Pulau Gag setelah sebelumnya sempat dihentikan pada awal 2000-an karena belum memiliki dasar hukum yang lengkap.
Meskipun IPPKH yang dimiliki perusahaan mencakup 603 hektar, hingga tahun 2022, data menunjukkan bahwa area tambang terbuka yang telah dibuka secara fisik baru mencapai sekitar 168,9 hektare. Ini berarti masih terdapat potensi perluasan lahan tambang di masa mendatang dalam cakupan luas IPPKH yang sudah disetujui. Namun, setiap perluasan tersebut tetap harus mengikuti ketentuan hukum yang berlaku, termasuk evaluasi lingkungan berkala, izin teknis tambahan, serta komitmen terhadap konservasi dan reklamasi lahan pasca-tambang. Hal ini menjadi penting karena Pulau Gag merupakan bagian dari kawasan Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu wilayah megabiodiversitas dunia.
Secara keseluruhan, meskipun tambang nikel di Pulau Gag telah dilalui dengan berbagai prosesur hukum, berupa IPPKH dan IUPK, isu-isu lingkungan dan sosial tetap menjadi perhatian utama. Kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung seperti di Pulau Gag memerlukan pengawasan yang ketat, karena berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis permanen jika tidak dikelola secara berkelanjutan. Oleh karena itu, transparansi dalam pelaporan, pemantauan aktivitas lapangan, dan keterlibatan masyarakat lokal menjadi elemen penting agar pengelolaan sumber daya mineral tersebut tidak merugikan ekosistem dan penduduk adat yang telah lama bergantung pada hutan dan laut sekitarnya.
Oleh karena itu, diperlukan perencanaan tata hutan partisipatif pada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, terutama masyarakat lokal, dalam proses penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi rencana pengelolaan hutan. Pendekatan ini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan antara aspek ekologi, ekonomi, dan sosial dalam pengelolaan sumber daya hutan. Melalui keterlibatan aktif masyarakat, pemerintah, LSM, dan sektor swasta, rencana tata hutan dapat disusun berdasarkan kebutuhan nyata dan kondisi lokal, sehingga memperkuat legitimasi serta efektivitas pelaksanaannya.
Dalam konteks KPH, diperlukan perencanaan partisipatif untuk memperkuat partiasipasi dan peran masyarakat sebagai subjek utama dalam pengelolaan hutan, bukan hanya sebagai penerima manfaat. Proses ini biasanya diawali dengan identifikasi pemangku kepentingan, pemetaan partisipatif wilayah kelola, serta pengumpulan aspirasi dan pengetahuan lokal. Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan penyusunan rencana pengelolaan yang inklusif dan adaptif, yang mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Dengan demikian, konflik lahan dapat diminimalkan, dan kolaborasi antarpihak bisa terbangun secara lebih konstruktif.
Hasil dari perencanaan tata hutan partisipatif dalam KPH tidak hanya menghasilkan dokumen perencanaan, tetapi juga membentuk komitmen bersama dalam pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan. Keberhasilan pendekatan ini bergantung pada transparansi, komunikasi yang terbuka, serta dukungan kebijakan dari pemerintah. Jika dijalankan secara konsisten, mampu meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap pengelolaan hutan, menurunkan tekanan terhadap kawasan hutan, dan mendorong terbentuknya model pengelolaan hutan yang adaptif dan berkeadilan serta inklusif.
Pemanfaatan sumber daya alam termasuk tambang di dalam kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan isu strategis yang memerlukan pendekatan yang adil, inklusif, dan berkelanjutan. KPH sebagai lembaga pengelola hutan di tingkat tapak bertanggung jawab menjaga fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi hutan. Oleh karena itu, setiap aktivitas pertambangan yang direncanakan di dalam wilayah KPH harus dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas tinggi, salah satunya dengan mendahului proses Free, Prior and Informed Consent (FPIC).
FPIC merupakan hak masyarakat adat dan/atau masyarakat lokal untuk memberikan atau menolak persetujuan atas proyek yang berdampak pada tanah, wilayah, dan sumber daya mereka. Dalam konteks KPH, penerapan FPIC menjadi mekanisme penting untuk memastikan bahwa pemanfaatan tambang tidak merugikan hak-hak masyarakat dan menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian lingkungan.
FPIC perlu dilakukan secara bertahap, yakni:
- Identifikasi dan pemetaan sosial
KPH
Bersama para pihak yang berkepentingan salah satunya pemrakarsa tambang harus
melakukan identifikasi dan pemetaan sosial untuk mengetahui keberadaan
masyarakat hukum adat dan/atau komunitas lokal yang berada di dalam atau
sekitar area tambang. Langkah ini penting untuk memahami struktur sosial,
nilai-nilai budaya, serta ketergantungan masyarakat terhadap sumber daya hutan.
- Penyampaian informasi secara lengkap dan
transparan
Masyarakat harus diberikan informasi yang lengkap, jujur, dan mudah
dipahami mengenai rencana pertambangan, potensi dampak lingkungan dan sosial,
serta mekanisme pembagian manfaat dan kompensasi. Informasi ini
harus disampaikan dalam bahasa dan media yang sesuai dengan konteks lokal.
- Konsultasi yang bermakna (meaningful
consultation)
Konsultasi
dilakukan dalam suasana terbuka, tanpa tekanan, dan memungkinkan masyarakat
untuk mengajukan pertanyaan, menyampaikan kekhawatiran, serta merundingkan
syarat-syarat pemanfaatan tambang. KPH memiliki peran fasilitatif untuk menjaga
netralitas dan memastikan proses berlangsung secara partisipatif.
- Pengambilan keputusan bebas tanpa paksaan
Keputusan untuk menerima atau menolak rencana tambang sepenuhnya berada di
tangan masyarakat. Proses ini harus dihormati sebagai hak dasar, termasuk jika
masyarakat memerlukan waktu tambahan atau ingin melakukan musyawarah internal
terlebih dahulu.
- Dokumentasi dan pengawasan Bersama
Apabila
disepakati, hasil persetujuan FPIC dituangkan dalam dokumen resmi yang
ditandatangani oleh para pihak. Selanjutnya, KPH berperan aktif dalam memantau
pelaksanaan tambang agar tetap sesuai dengan perjanjian, menjaga fungsi
ekologis kawasan, dan memastikan keberlanjutan manfaat bagi masyarakat.
Dengan mendahului proses FPIC, pemanfaatan tambang dalam kawasan KPH tidak hanya memenuhi kewajiban hukum dan norma hak asasi manusia, tetapi juga memperkuat legitimasi sosial dan menciptakan model pembangunan yang adil dan berkelanjutan. KPH menjadi garda depan dalam mengintegrasikan kepentingan ekologis dan sosial dalam kerangka pemanfaatan sumber daya alam yang bertanggung jawab.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) memiliki peran dan posisi yang strategis sebagai pemangku kepentingan di tingkat tapak yang menjembatani antara kebijakan pusat dan dinamika nyata di lapangan. Sebagai fasilitator, KPH berperan aktif dalam mengelola konflik, memfasilitasi kolaborasi multipihak, serta menjaga keseimbangan antara kepentingan konservasi, ekonomi, dan sosial masyarakat lokal. Peran ini menempatkan KPH sebagai aktor penting yang tidak hanya melaksanakan fungsi teknis kehutanan, tetapi juga sebagai penghubung komunikasi antara masyarakat adat, pelaku usaha, dan pemerintah.
Oleh karena itu, keberadaan dan otoritas KPH harus dihormati oleh seluruh pihak, baik dari level pemerintahan maupun pelaku usaha. KPH memahami medan sosial, budaya, dan ekologis di tingkat tapak lebih dalam dibanding institusi lain di level yang lebih tinggi. Dalam menghadapi berbagai dinamika akar rumput, seperti sengketa lahan, hak masyarakat adat, dan pemanfaatan sumber daya alam, KPH adalah garda terdepan yang mengelola kompleksitas tersebut. Mengabaikan posisi KPH justru akan melemahkan efektivitas pengelolaan hutan lestari yang berbasis keadilan dan kearifan lokal.
Daftar Singkatan/Istilah
- RPHJP |
|
Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang – 10 tahun |
- KPH |
|
Kesatuan Pengelolaan Hutan |
- GIS |
|
Geographic Information System |
- FOLU Net Sink |
|
Forestry and Other Land Use Net Sink |
- RKTP |
|
Rencana Kehutanan Tingkat Provinsi |
- RKTN |
|
Rencana Kehutanan Tingkat Nasional |
-
PIAPS |
|
Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial |
- PIPPIB |
|
Peta
Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru |
- IPPKH |
|
Izin
Pinjam Pakai Kawasan Hutan |
- IUP |
|
Izin Usaha Pertambangan |
- IUPK |
|
Izin Usaha Pertambangan Khusus |
- PS |
|
Perhutanan Sosial |
- OSS |
|
Online Single Submission |
- PPKH |
|
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan |
- BKPM |
|
Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi
Penanaman Modal |
- AMDAL |
|
Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan |
- FPIC/PADIATAPA |
|
Free, Prior and Informed Consent / Persetujuan Atas Dasar Informasi di
Awal Tanpa Paksaan |
1.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2017). SK No.
430.K/30/DJB/2017 tentang IUPK PT Gag Nikel.
2.
BKPM - KLHK (2015). Keputusan Nomor 19/1/IPPKH/PMA/2015 tentang
Pemberian IPPKH kepada PT Gag Nikel.
3.
Antam Tbk. (2022). Laporan Tahunan dan Keberlanjutan PT Gag Nikel.
www.antam.com
4.
WALHI Papua Barat (2023). Kajian Ekologis dan Sosial Dampak Tambang
di Pulau Gag.
5.
Mongabay Indonesia (2022). Pulau Gag: Tambang Nikel
dan Dilema Hutan Lindung. www.mongabay.co.id
6.
JATAM (2021). Data Konsesi dan Konflik Tambang di Kawasan Hutan
Indonesia Timur.
7. UU No. 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan.
8. Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung
dan Hutan Produksi
9. Kementerian Energi dan
Sumber Daya Mineral Republik Indonesia. (2020). Pedoman Teknis Izin Usaha
Pertambangan dan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan.
10.
Walhi. (2021). Kajian Dampak Tambang Terhadap Tata
Hutan dan Tata Ruang di Indonesia. WALHI Nasional.
11.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). (2022). Tumpang Tindih Izin
Tambang dan Tata Ruang Hutan.
12.
Sembiring, B., & Purba, H. (2019). "Peran KPH dalam Pengelolaan
Hutan Berbasis Lanskap," Jurnal Manajemen Hutan Tropika, 25(1),
1-14.
13. Badan Informasi
Geospasial (BIG). (2020). Peta Tata Ruang dan Kawasan Hutan di Indonesia.
0 Comments