Latar Belakang
Phobia tersirat
seperti benalu yang mulai permanen terhadap
semua bentuk tawaran, pemberian dengan tujuan mencapai harmonisasi dan membuat
keadaan lebih baik untuk mencapai rasa saling terima sudah tidak menjadi
sesuatu yang kesannya baik. Menilik rasa tidak terima merupakan mosi yang muncul dari
perasaan enggan, malas dan atau muak dapat berbentuk tindakan langsung
dan berbalas, bahkan menutup diri dan menghindar serta mengambil sikap diam.
Antipati dalam kamus besar Bahasa Indonesia terdiri dari dua suku kata anti; menolak,
perasaan tidak suka dari keadaan yang mula-mula (empati) keterikatan, peduli
bersifat abstrak.
Foto: RY- September 2016 |
Suasana
tersirat antipati berlanjut dengan kebencian, penolakkan rasa tidak senang yang
menapikan susasana tak nampak dari diri sesuorang kepada objek/subjek yang
beransur-ansur semaking memburuk hubungan harmonisasi. Jika dalam kondisi laten
demikian maka tidak mudah untuk melepaskan benang merah yang sudah melingkar
dalam rasa penolakkan dan memilih keluar secara bebas tampa berkeinginan untuk
berunding walau memang secara proporsional dapat dipercaya dengan
pendekatan-pendakatan baru yang dimungkinkan hal tersebut baik dan benar.
Papua dan Penolakkan
Antipati
dalam gambaran diatas dapat menggaris bawahi dinamika apik yang sedang
menggucangkan naluri orang-orang Papua, meledaknya animo masyarakat sipil Papua
dalam jumlah yang tak terelakkan akibat perlakuan rasial beberapa waktu lalu
16/17 Agustus 2019 menjadi titik nadir berimplikasihnya antipati yang selama
ini tidak muncul. Anda tidak perlu menanyakan aksi protes perlawanan tersebut
telah menlencengkan hak-hak penghidupan manusia sebagai makluk mulia, rasial
merupakan kebencian bagi negera-negera didunia, ini adalah diskriminasi yang tidak
berprikemanusian lebih kejam dari hukuman gantung atau bahkan cambuk. Titik
pergelokkan perasaan tidak terima atas ketidakadilan yang selama periode
berkepanjangan yang dibungkam oleh negara, oleh para pelancong berwewenang yang
mustinya seadil-adilanya mentenggarai masalah yang melintasi dimasa lampau
bahkan beberapa waktu belakangan ini yang tak kunjung diusut bahkan sama sekali
belum terselesaikan. Papua bukan anak tiri atas wilayah teritorinya sehingga
batas-batas wilayah administrasi yang dipergunakan pemerintah bukan jadi
jaminan yang dipayungi hukum negara membatasi ruang kebebasan warga Papua atas
wilayah teritorinya untuk melangkah pada kehendak yang diingin dicapai.
Jangan
terkecoh dan bertumpuk pada soal rasial
yang terjadi kemarin sore, ujaran kebencian, diskriminasi, intimidasi
dan rasial telah mewarnai deret panjang yang disuguhkan bagi orang kulit hitam
keriting rambut dalam perjalanannya bersama bangsa ini. Lebih pelik yang
dialami warga mahasiswa yang mengecap pendidikan diluar Papua. Sederet perlakuan
dan penetrasi kepentingan yang masuk dalam tubuh pemerintah dan tekanan yang
tak alot represitas militeristik tak pernah menemukan jalan buntuh massif dan
terus berlanjut pada abad ke 21 ini.
Kegentingan
yang mungguncangkan pemerintah pusat telah mencabir-cabik factual yang ditutup
oleh mainstream dan media pemulus yang sudah tidak loyal lagi dalam menjunjung
keadilan, loyalitas, akuntabilitas dan transparansi dalam menyuarakan berita
yang benar dan fakta-fakta tersahih. Situasi berkepanjang ini tidak mudah
menasionalisakan semangat yang dinawacakan jadi semangat fundamental Pancasila yang
dijunjung oleh kata-kata tersohor dan korsa nasionalis. Dalam kehidupan yang
berubah menjadi antipati dalam berbagai pendekatanpun tidak akan pernah
menemukan kesepakan-kesepatan yang berbalik selain memberikan kesempatan
seadil-adilnya bagi keadaan phobia untuk menentukkan dan memilih jalan baru
yang ingin ditempuh.
Bagi organ-organ
pembebasan Papua, diskriminasi rasial menjadi symbol yang mensuguhkan api
perlawanan lebih bergejolak, symbol perlawanan yang menyatuhkan argument-argumen
dalam barisan merebut kedaulatan atas teritori dan bumi pertiwi yang melegalkan
tumpahan sebagai passion historia dalam membumkamkan suara-suara redup oleh system
manjamur massif dalam berokrasi yang melahirkan gep-gep pemisah antar sesama
papua.Papua phobia Papua dan parsial fragmentasi lainya yang melintasi
perubahan yang hingga kini telah menjamur dan tidur manis dalam sekat-sekat
hati orang-orang Papua. Bertanyalah pada siapa wabah ini menggerogoti
masyarakat yang lalunya hidup saling menghargai antar sesama manusia. Dinamika
ini lahir dari ketidakadilan yang selama ini berlangsung semanjak papua menjadi
integral dalam wilayah NKRI. Hal tersebut larut dalam pergolakkan perlawanan selama
ini, landas pinjak perlawanan tersebut tentu diketahui yakni masuknya Papua
dalam negara ini telah tercatat telah tercatat cacat hukum internasional,
manifestasi atas potensi sumberdaya Papua telah menjeret hak-hak orang Papua
yang dirampas oleh hukum nasional dan internasional oleh segilintir orang
dimasa lalu dan hingga kini menggurita bagi sejumlah oknum dipusat dan daerah.
Saat ini
negara dengan kata lain sedang membabi buta menggunakan semua instrument dan
media yang ada mengentaskan perlawanan yang tak pernah berakhir. Sayangnya
orang-orang papua yang dibirokrasi dan legislasi harus tunduk dalam norma dan
aturan main, sehingga bagi warga sipil dan kaum mudah yang bebas dari
pagar-pagar hukum membawa dirinya tampa rasa takut dan gentar untuk menyarakan
aspirasi dan tuntutan yang selama ini dikecang, dibuburkan dan dihadang oleh
pemerintah melalui aparat. Dengan
menggunakan rana hukum maka penangkapan akan terus berlanjut sampai-sampai
organ pembebasan Papuapun digenjoti hukum dan akan dihadapkan dirana ini.
Perlawanan
masih membara ditengah mirisnya ketakutan warga Nduga yang eksodus dari
wilayahnya menyebar kedaerah yang dekat dan aman, apparat masih terus mengejar
TPN PB wilayah ndugama yang dikomondai Enggenius Kogoya, warga mendapatkan
tekananan represif yang menggunakan pola-pola lama, sebagaian lainnya mati
karena wabah penyakit dan kekurangan gizi. Mereka tidak mendapatkan kecukupan
makanan dan obat-obatan, apalagi melintasi daerah pegunungan yang medannya
cukup berat. Deiyai yang korbanpun dijadikan tersangkah dalam penetrais
hukum-hukum Indonesia, bagaimana bisa korban rasial yang menyuarakan
aspirasinya kini dikejar hukum sudah jadi korban diinjak lagi jadi tersangkah.
Dimana keadilan bagi segenap bangsa, sehingga benar bahwa negara multi budaya,
suku dan bahasa ini memilik corak hidup yang berbeda- beda dalam merangsang
segala bentuk pembangunan ataupun
berhubungan dengan kondisi berbeda serta menyikapi menyelesaikan
masalah yang terjadi. Jakarta selalu
bercermin secara sentralistik sehingga prodak hukum seperti Otsus dan lainnya
tidak miliki nilai fisiologis, cerminan
budaya, moral masyarkaat dan lainnya.
Keniscayaan dan Konklusi
Hari ini
rakyat Papua sudah menang atas berbagai ketidakadilan yang dialaminya, sehingga
saudara-saudar non Papua tidak boleh melihat Papua menggunakan api semangat
yang cabir empatik, orang papua orang baik, pemaaf dan tampak jelas keperibadiannya dimata orang lain.
Berilah kesempatan bagi Papua untuk menentukkan langkah-langkah yang selama ini
didambakan, dinantikan dan ditunggu. Papua akan bersahabat dengan bangsa dan
menghargai bangsa Indonesia sebagai bangsa yang memiliki keberagaman yang kaya.
Antipati inipun tidak pernah redup walaupun orang papua ditangkap karana
melakukan kegiatan yang disinyalir anarkis, makar, kelompk bersenjata, dan yang
baru saja diungkapkan oleh Mengkopolhukam yakni teroris serta berafeliasi
dengan jaringan ISIS Indonesia dan dunia. Sebutan-sebutan ini baru
gombar-gambirkan terus keatas Papua, Papua tidak pernah melakukan atau ada
dalam sindikat yang dicap oleh organ-organ negara beberap decade belakangan ini.
Papua adalah Israel dimasa modern yang akan keluar dari tanah perbudakan
kembali kepada kebebasan diatas negerinya sendiri.
Ditulis: RY
Central Celebes 10/09/2019
0 Comments