Fakta Relief Dasar Laut dari SRTM & MBES dan Ketidakpastian tembok raksasa di lautan Pasific Jayapura
______________
Tulisan ini dibuat berdasarkan studi literatur dan pengetahuan geopasial yang saya pahami. Saya sendiri tidak memahami dengan baik ilmu Oseanografi atau ilmu kelautan, tapi lebih menekankan pada aspek ruang berdasarkan informasi spasial ***
Secara sederhana relief dasar laut adalah perbedaan tinggi dan rendahnya bentuk permukaan bumi yang berada di dasar laut. Relief pada geoid bumi di dasar laut berkenaan dengn pola bentuknya, ditunjukkan dengan kontur yang dapat menggambarkan bentuk permukaan bumi di bawah air. Untuk menggambarkan bentuk bawah laut dapat dilakukan dengan beberapa pendekatang diantaranya:
Pengukuran Batimetri (Kedalaman Laut):
•Batimetri adalah pengukuran dan pemetaan topografi dasar laut. Informasi tentang kedalaman laut sangat penting dalam kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah pantai.
•Pengukuran kedalaman laut dapat dilakukan menggunakan perangkat seperti single beam echosounder.
Pengumpulan Data Sedimen Dasar Laut:
•Pengambilan sampel sedimen dasar laut menggunakan grab sampler. Ini membantu memahami komposisi dan karakteristik dasar laut di lokasi tertentu.
Analisis Morfologi Dasar Laut:
•Setelah mengumpulkan data, selanjutnya membuat model 3D morfologi dasar laut menggunakan perangkat lunak seperti Surfer 11. Aplikasi ini dapat diterapkan untuk menganalisis bentuk permukaan dasar laut (seabed surface).
•Selain itu, dapt juga membuat penampang melintang morfologi dasar laut menggunakan perangkat lunak seperti Global Mapper menggunakan visualisasi 3D. Ini membantu memvisualisasikan karakteristik dasar laut secara lebih detail
Pertimbangkan Kemiringan Pantai dan Pasang Surut:
•Pengukuran kemiringan pantai menggunakan selang waterpass dan pengukuran pasang surut air laut menggunakan palem pasang surut.
Pemetaan dasar laut cukup menarik dan memiliki dampak besar pada pemahaman kita tentang ekosistem laut dan dinamika samudera yang perlu dipahami. Pengukuran dasar laut yang dilakukan dengan beberapa metode diatas dapat membantu observasi dan penemuan sains serta mendorong pengembangan pengetahun tentang bentuk dari dasar laut itu sendiri misalanya:
Palung Laut (Trog atau Trench):
•Palung laut adalah kawasan sempit di bawah dasar laut yang memiliki bentuk menyerupai huruf ‘V’. Kedalamannya sangat curam dan dalam.
•Penyebab terbentuknya palung laut bisa karena gerakan lipatan kulit bumi atau akibat patahan lempengan di dasar laut, misalnya Palung Jawa di Samudera Hindia, yang mencapai kedalaman 7.725 meter.
Lubuk Laut (Ledak Laut atau Basin):
•Lubuk laut hampir mirip dengan palung laut, tetapi bentuknya menyerupai huruf ‘U’ dan tidak terlalu curam.
•Beberapa lubuk laut di Indonesia termasuk Lubuk Band dan Lubuk Sulawesi, dengan kedalaman sekitar 6.220 meter.
Paparan Benua (Landas Kontinen):
•Paparan benua juga disebut sebagai landasan kontinen. Ini adalah area yang memiliki bentuk yang lebih datar dan lebih dangkal.
•Paparan benua terletak di dekat pantai dan merupakan perpanjangan dari daratan. Di sini, kedalaman laut lebih rendah dan lebih cocok untuk kegiatan manusia, seperti pengeboran minyak dan gas.
Relief dasar laut memiliki keanekaragaman bentuk yang menarik dan memainkan peran penting dalam pemahaman kita tentang samudera dan ekosistem laut. Jika ingin mengeksplorasi lebih lanjut, telah tersedia fitur “Ocean in Google Earth” untuk menyelam secara virtual di bawah permukaan air atau juga menggunakan data batimetri untuk melihat bentuk relief dalam laut.
Pengukuran Relief
Perangkat Sonar
Sonar adalah sistem perangkat yang digunakan untuk mendeteksi dan menentukan jarak benda yang ada di bawah laut. Metode ini memanfaatkan gelombang suara ultrasonik dengan frekuensi lebih dari 20.000 Hz. Gelombang suara ini dapat merambat dan menjalar pada air laut, sehingga kita bisa memprediksi keberadaan benda-benda di dasar laut. Sonar pertama kali digunakan untuk mendeteksi gunung es di bawah laut dan kemudian di bidang militer untuk melacak kapal selam musuh dan ranjau. Sampai sekarang, sonar masih sering digunakan untuk menemukan benda hilang di laut dan mengukur kedalaman laut. Sonar bekerja dengan mengirimkan sinyal gelombang suara ke dasar laut dan mengukur waktu yang dibutuhkan sinyal untuk kembali. Ada beberapa jenis sonar, termasuk:
1.Echo Sounding: Metode ini menggunakan perangkat yang disebut echosounder atau sonar. Gelombang suara dipancarkan ke dasar laut, dan waktu pantulan kembali gelombang diukur untuk menghitung kedalaman.
2.Altimetri Satelit: Satelit altimetri menggunakan radar atau laser untuk mengukur ketinggian permukaan laut dengan presisi tinggi. Meskipun bukan metode langsung, ini memberikan informasi tentang topografi dasar laut.
3.Pengukuran dengan Buoys dan Kapal: Kapal dilengkapi dengan peralatan khusus untuk mengukur kedalaman perairan dan karakteristik dasar laut.
4.Pengukuran Gravitasi: Metode ini memanfaatkan perubahan gravitasi yang terjadi karena variasi massa di bawah laut. Namun, ini lebih kompleks dan jarang digunakan.
5.Pengukuran Berdasarkan Peta Batimetri: Peta batimetri adalah peta yang menunjukkan kedalaman laut. Data ini dikumpulkan melalui survei hidrografi menggunakan kapal dan peralatan khusus.
Perhitungan Batimetri
Badan Informasi Geospasial (BIG) mengukur Batimetri Nasional dimulai dari perhitungan data free air gravity anomaly, sampai menjadi data batimetri dengan menggunakan Gravity-Geological Method (GGM). Detil penggunaan model GGM dapat ditemukan pada Hsiao et. al (2016) dan lain-lain, dan metode assimilasi data pemeruman kedalam data batimetri, misalnya dalam Becker et. al (2009)
Perhitungan batimetri melibatkan pengukuran kedalaman laut dan pemetaan topografi dasar laut. Beberapa langkah yang bias diikuti untuk melakukan perhitungan batimetri:
Pengukuran Kedalaman Laut:
•Menggunakan perangkat seperti single beam echosounder atau multibeam echosounder untuk mengukur kedalaman laut di lokasi yang diteliti.
•Data yang diperoleh dari pengukuran ini akan memberikan informasi tentang variasi kedalaman di area tersebut.
Pemetaan Dasar Laut:
•Setelah mengumpulkan data kedalaman dilanjutkan dengan membuat peta dasar laut (batimetri) menggunakan perangkat lunak pemetaan geospasial seperti ArcGIS, QGIS, atau Surfer.
•Dalam perangkat lunak tersebut data-data diolah menjadi data kedalaman dan menghasilkan visualisasi yang menunjukkan bentuk permukaan dasar laut.
Analisis Morfologi Dasar Laut:
•Selain peta dasar laut data tersebut dapat digunakan untuk analisis morfologi dasar laut. Ini melibatkan pemodelan bentuk
permukaan dasar laut dalam bentuk model 3D.
•Dengan menggunakan perangkat lunak pemodelan dapat memvisualisasikan relief dasar laut dengan lebih detail.
Koreksi Terhadap Pasang Surut:
•Pasang surut dapat mempengaruhi kedalaman laut. Perhitungan batimetri biasanya mempertimbangkan dan memperhitungkan perubahan pasang surut.
Validasi Data:
•Memvalidasi data dan hasil perhitungan dengan melakukan survei lapangan atau membandingkannya dengan data lain yang relevan.
Penjelasan diatas dapat mengantar kita pada suatu risalah untuk menjawab bentuk dan kedalaman laut di bumi ini sehingga membentu para peneliti dalam menjawab fenomena alam berbasis pada temuan dan teknologi yang kian canggih ini salah satunya adalah menggunakan konstelasi global navigation satellite system untuk menetukkan menentukan posisi di Bumi, dengan menggunakan satelit. Sistem navigasi satelit mengirimkan data posisi (garis bujur dan lintang, dan ketinggian) dan sinyal waktu dari satelit, ke alat penerima di permukaan. Penerima di permukaan dapat mengetahui posisinya, serta waktu yang tepat.
Fenomena Jayapura Wall / Tembok Jayapura
fenomena Tembok Jayapura atau Jayapura Wall memang menarik dan telah memikat perhatian banyak orang.
Tembok Jayapura?
•Tembok Jayapura adalah sebuah struktur misterius yang berada di dasar laut lepas samudra pasific, yang tidak jauh dari Jayapura.
Spekulasi dan Misteri:
Ada beragam spekulasi tentang asal-usul Tembok Jayapura:
•Peninggalan Atlantis: Beberapa orang menyebutnya sebagai peninggalan dari benua hilang Atlantis yang terhapus dari sejarah dunia.
•Kaitan dengan Yajuj dan Majuj: Dalam Kitab Suci Al Qur’an, Yajuj dan Majuj disebut sebagai makhluk pembawa kerusakan dan dikaitkan dengan tanda datangnya kiamat. Beberapa menghubungkannya dengan tembok bawah laut ini, meskipun secara ilmiah klaim ini telah terbantahkan
Verifikasi Fakta dari Badan Informasi Geospasil (BIG):
•BIG telah memeriksa data batimetri di lokasi yang diklaim sebagai tembok raksasa. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada tembok raksasa di bawah Laut Papua, Jayapura.
•Sebaliknya, BIG menemukan fitur gunung bawah laut dengan ketinggian lebih dari 3.000 meter. Kaki gunung berada di kedalaman sekitar 3.700 meter sampai 4.300 meter, dan puncak gunung berada di sekitar kedalaman 500 meter.
Tembok Jayapura menarik perhatian bagi masyarakat luas dengan berbagai spekulasinya sampai pada pembahasan yang kaitannya dengan mitologi konon dan pembahasan rahasia yang tersembunyi. Namun yang ingin diperlihatkan adalah analisa data teknis dengan menggunakan alat ukur Multibeam Echosounder (MBES) dan Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) untuk interpretasi relief dan kedalaman laut dapat menjawab fakta yang sebenarnya.
Gambar. Batimeteri Nasional - BIG |
Kesalahan Perekaman
Kesalahan yang bisa terjadi dalam perekaman bisa jadi rujukan fenomena reflektan tembok yang muncul di tenggara laut Jayapura. Perekaman citra satelit memang merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan. Mari kita bahas beberapa jenis kesalahan yang dapat terjadi pada citra satelit:
*Kesalahan Geometrik:
Kesalahan ini terkait dengan posisi dan bentuk citra satelit. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kesalahan geometrik meliputi:
•Disorientasi Wahana: Kesalahan ini berasal dari ketidaksempurnaan orientasi satelit saat mengambil citra. Akibatnya, citra mungkin tidak tepat secara geometris.
•Sensor Miring (Off-Nadir): Ketika sensor citra satelit diarahkan dengan sudut tertentu (miring), kesalahan geometrik dapat terjadi karena efek perspektif.
•Distorsi Akibat Rotasi Bumi: Rotasi Bumi dapat mempengaruhi posisi dan bentuk citra satelit.
•Efek Kelengkungan Bumi: Terutama di wilayah berbukit-bukit, efek kelengkungan Bumi dapat menyebabkan distorsi geometrik pada citra.
*Kesalahan Radiometrik:
Kesalahan radiometrik terkait dengan nilai intensitas piksel pada citra. Faktor yang mempengaruhi kesalahan ini meliputi:
•Variasi Ketinggian dan Posisi: Perubahan ketinggian dan posisi satelit dapat memengaruhi intensitas cahaya yang diterima oleh sensor.
•Efek Topografi Bumi: Wilayah dengan topografi berbeda-beda dapat menghasilkan variasi intensitas cahaya yang tidak diinginkan pada citra.
Tembok Raksasa Telah di Hapus
Gambar tembok misteri yang muncul di timur laut pasifik Jayapura telah dihapus. Dalam pendengkatan spasial proses menghilangkan noise dan distorsi pada data Digital Elevation Model (DEM) adalah langkah penting untuk memastikan akurasi dan kualitas data topografi yang digunakan dalam pemetaan dan analisis. Beberapa teknik yang dapat membantu mengatasi noise dan distorsi pada data DEM:
*Filtering:
Teknik filtering melibatkan penggunaan filter matematis untuk menghaluskan data DEM. Beberapa metode filtering yang umum digunakan meliputi:
•Mean Filter: Menggantikan nilai piksel dengan rata-rata dari nilai piksel tetangganya.
•Median Filter: Menggantikan nilai piksel dengan nilai median dari tetangganya.
•Gaussian Filter: Menggunakan fungsi Gaussian untuk menghaluskan data.
Filtering membantu mengurangi noise dan menghasilkan DEM yang lebih konsisten dan akurat
*Koreksi Radiometrik:
•Koreksi radiometrik bertujuan untuk mengoreksi intensitas cahaya pada citra DEM. Ini melibatkan normalisasi nilai piksel agar sesuai dengan kondisi sebenarnya di lapangan.
•Koreksi ini dapat mengurangi distorsi yang disebabkan oleh perbedaan intensitas cahaya pada berbagai area di permukaan Bumi2.
*Koreksi Geometrik:
•Kesalahan geometrik dapat terjadi karena posisi dan orientasi satelit saat mengambil citra. Koreksi geometrik melibatkan transformasi data DEM agar sesuai dengan koordinat geografis di permukaan Bumi.
•Dengan memahami elevasi setiap piksel dalam citra, pergeseran dan distorsi dapat dikoreksi, menghasilkan citra orthophoto yang akurat secara geometris.
Menerapkan teknik-teknik diatas dapat meningkatkan kualitas data DEM dan menghilangkan noise serta distorsi yang mungkin terjadi.
Misalnya contoh kasus Garis Gap Fill Line pada kesalahan kecil koreksi citra dari Hawai hingga kampung Harapan Jayapura: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=2100949093599571&set=pb.100010535013227.-2207520000&type=3
0 Comments