Adat di Gadaikan

Barangkali kita terkecut/ngeri dengan pemasangan pernghargaan Mahkota Adat kepada Pandam XVII Cenderawasih Papua (26/09/2018) di Distrik Kimbim Kabupaten Jayawijaya yang mirisnya dipandang sebagai bagian dari pertalian adat dalam prosesi pengukuhan yang dinyatakan adat menjadi kepala suku atau lebih tepatnya panglima suku besar Pegunungan Tengah Papua oleh prosesi mistik komunitas tersebut. Ironi yang sebenarnya pelecehan terhadap leluhur dan komunitas masyarakat itu sendiri terhadap kasatuan adat dalam  masyarat dan ruang wilayahnya.  Peristiwa ini merupakan kebobrokan yang dikerjakan pihak-pihak yang menjadikan masyarakat dan tanah adatnya sebagai objek tak ternilai esensinya dan tak melihat keberadaannya sepanjang sejarah yang panjang bagi ruang wilayah masyarakat dengan adat istiadat yang mengikat penghidupannya yang esesinya sakral.
Dewasa ini advokasi masyarakat adat dunia dan lndonesia telah berafeliasi dengan berbagai praktisi dalam kepedulian kominitas adat yang merupakan hak klaim agar diakui secara universal keberadaan mereka, wilayah, kelembagaan, perangkat norma dan bentuk-bentuk tradisi lainnya sehingga sedapat mungkin mereka juga mempu memperjuangkan wilayah adat dengan caranya sendiri tapi tidak menutup diri dari perubuhan pembungunan  serta perkembangan perhubahan itu sendiri. Berdaulat secara budaya, mandiri secara ekonomi, dan mempunyai hak demokrasi dalam berpolitik berkesinambungan.
Memang ironi, mereka telah mencederai adat dan budaya yang memiliki esensi historis sebagai bagian dari penghargaaan, penghayatan kepada leluhur dan alam yang tidak dipisahkan dari kehidupan madani yang masih dipertahankan di Papua. Melihat keadaan ini maka perlu dipahami bahwa untuk mendapatkan legal standing sebuah komunitas adat di Indonesia jalan kesana terbuka sejak disahkannya putusan Mahkama Konstitusi No 35/PUU-X/2012 yang menegaskan masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum yang artinya memiliki hak historis terhadap  ruang sumberdaya hutan dan lingkungan lainnya yang tidak dipisahkan dari wilayah adatnya yang wajibnya negara mengakui dalam bentuk regulasi. Secara legitimasi klaim masyarakat adat terhadap ruang wilayahnya antara lain UU No. 49 Tahun 1999 Pasal 5 status kawasan sepanjang masyarakat itu masih ada dan diakui keberadannnya, UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, Peraturan Menteri Agraria No 5 Tahun 1999 tentang pedoman penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Hukum adat dan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.62/Menhut-11/2013 tentang Pengukuhan Kawasan serta Peraturan Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan No. P.1/PSKL/SET/Kum.1/2/2016 tentang Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak. Rujukan ini tentunya sebagai jalan untuk masyarakat adat diindonesia mendapat pengakuan dari negara  terhadap  kebedaan masyarakat hukum adat.
Untuk mendapatkan legal standing negara bahwasanya harus dimuat syarat sebagimana dalam rujukan kebijakan diatas yang terdiri dari:
1.            Adanya tradisi yang terus menerus dilakukan oleh masyarakat
2.            Tradisi tersebut teratur dan sistematis
3.            Tradisi tersebut mempunyai nilai sakral
4.            Hak Atas tanah
5.            Adanya sanksi/ akibat hukum
6.            Hukum Tidak tertulis ditaati dalam masyarakat
7.            ADA kelembagaan dan wilayah adatnya
Kesamaan mendasar bagi masyarakat adat yang disebut minoritas yaitu tertindas, dieksplotasi dan disingkirkan dalam waktu yang begitu panjang. Mereka bukan semata-mata kecil populasinya lebih dari itu mereka memiliki sumber ideology, system social budaya dan system politik yang bersifat khas/unik dan bersifat spifik/lokal yang dibangun atas kesamaan wilayah  hidup bersama-sama turun temurun (kesamaan teritori) maupun atas kesamaan nenek moyang leluhur (hubungan darah, klen, suku sama). Tentu telah menggambarkan keasal-usulan manusia adat yang hidup dibumi ini, setiap komunitas mempunyai tata cara dan klaim dalam mempertahnakan serta memperjuangkan wilayah leluhurnya demi menjaga kearifan lokal dan praktek tradisi yang masih dianut/dipertahankan hingga kini. Artinya sistem-sistem tradisional dalam menjaga hubungan manusia dengan manusia,manusia dengan alam  telah terjaga sahih membentangi sejarah panjang masyarakat adat. Bentuk-bentuk pengakuan serta pembagian kekuasaan/gelar dalam tatanan penghidupannya merupakan anugrah yang diterima dalam garis historis komunitas tersebut. Gelar-gelar dalam adat tersebut adalah simbol kekuasaan yang tidak dipisahkan dari penghormatan terhadap leluhu/moyong dan wilayah teritorinya yang dianggap sacral dan dijaga utuh dalam komunitas masyarakat madani.
Sejarah panjang masyarakat adat diintervensi oleh masuknya pengaruh luar dan juga atas dasar kebutuhan bersama dalam dirinya bahkan atas tawaran/desakan-desakan politis yang membungkan patokan penghidupan mereka. Nyatanya masyarakat adat mengalami perubahan-perubahan  yang berlansung dengan sangat lambat dan lainnya mengalami perubuhan yang drastis seiring perkembangan perubuhan luar yang masuk. Ada yang masih mempertahankan system budaya-politik-religi yang utuh sedangkan yang lainnya mengalami fragmentasi dalam tradisi tersebut. Perubuhan-perubuhan ini kemudian menjadi mewabahnya nilai-nilai penghidupan budaya yang kian tersingkirkan. Politk dan ekonomi dari luar seperti umpan yang mengkebiri kekayaan dan warisan adat-istiadat. Terjadilah pelepasan sumber penghidupan kepada pihak ketiga dengan gelar-gelar yang sebenarnya sebuah manifiesto untuk mencaplok  kewilayahan, mempengaruhi budaya baru, mengeksplotasi potensi SDA, dan perampasan-perampasan hak-hak dasar yang terjadi secara dramis dengan menggunakan legitimasi formal sebagai landas pijak yang berakibat kelak memperkeruh komunitas masyarakat serikat hak-hak hidupnya yang berpotensi konfilk lokal, tercerai berai bahkan punah diatas wilayah adatnya.
Masyarakat adat dunia telah mengalami desakan intervensi dari system yang berkuasa. Gelombang intervensi pertama ditandai dengan masuknya konsep feodal menggantikan bentuk kelembagaan lokal yang adat untuk melancarkan transaksi dagang meruap sumberdaya dengan dalih-dalih kebenaran dan ajarin system feudal yang paling baik dalam tatanan yang ada saat itu. Gelombang intervensi yang kedua proses perampasan hak-hak masyarakat ada secara sistemtatis, diorganisir dengan diterapkan sejumlah kebijakan yang manifestasi terselubung mengamankan perusahaan-perusahan asing Hindia Belanda. Kebijakan ini tentu menjadi titik penindasan, penyingkiran dan eksplotasi hak-hak masyarakat adat. Praktek kolonialisme terus berlanjut di zaman orde lama yang didalam UUPA 1960 hak masyarakat adat disingkirkan  dengan semangat UU Agraria buatan hindia belanda 1870 disinilah terjadi perampsan/genoside besar-besar terhadap hak-hak masyarakat adat nusantara. Praktek kolonialisasi sedemkian ini kemudian terfransformasi secara sistematik, terintegrasi dalam berbagai kebijakan sector pasca reformasi. Bentuk-bentuk ketidakadilan ini bertujuan untuk mengeksluk hak kepemilikan lokal dari ruang hidup dengan berbagai program pembangunan yang substansional, sectoral . Pembukaan wilayah otonom baru, pembagian kekuasaan kedaerah sebenarnya tidak memberikan kepastian yang utuh tapi titik kehancuran pegangan-pegangan kehidupan dalam tatatan masyarakat itu sendiri.
Kembali pada konteks awal diatas suatu titik nadir/sejarah baru pemberian hak adat kepada seorang Pandam yang jelas asalnya bukan dari lembah dingin Wamena dan secara geneologis bukan merupakan suku hubula  sepanjang sejarah  konferesi masyarakt adat/lokal di Wamena tidak ada dalam list sejarah suku Dani didaerah ini. Hal tersebut Telah dicidrai oleh segelintir tetua adat dan pandam itu sendiri. Mengapa demikian 1). Pemerintah daerah dan Pandam telah melanggar hak-hak konvegen internasional terhadap hak hidup warga sipil (masyarakt adat) dalam kebudayaan penghidupanya yang diakui sacral dalam menghormati leluhur dan alam lingkungannya, 2) Masyarakat telah dipolitisasi untuk dikantongi sujumlah tawaran yang sifatnya temporar, suatu bentuk pengkolonisasian hubungan diantara masyarakat tersebut dari berbagai wacana yang sifatnya substansional, regulative, janji stimulis, program yang menitikberatkan mereka disertakan didalamnya, 3). Peta polotik Papua dan sentral daerah yang telah dijadikan label khusus sebagai upaya mitigasi pangkalan-pangkalan bersenjata. 4). Penghilangan secara dramatis ciri khas dan jati diri.
Untuk itulah kenapa kita harus bersuara mengembalikan hak yang telah dicemari tidak pantas tersebut. Hak klaim atas kekayaan yang ada harus diperjuangkan agar mendapat legal standing dari negara ini keberadan kami diatas tanah adat yang dihormari secara praktek adat istiadat. Sehingga yang harus dilakukan oleh negara melakukan perlindungan terhadap:
1.            Ha katas tanah
2.            Penguasaan atas sumberdaya alam
3.            Penghormatan atas adat istiadat dan identitas budaya
4.            Pengurusan wilayah melalui kelembagaan adat
5.            Pengakuan atas hukum adat
6.            Perlindungan terhadap manusia dan hak asasinya
HAM di Papua yang kian pelik, merosotnya relasi social yang terbagi-bagi dalam kandang-kandang kabupaten, distrik bahkan kampung telah menjadi pemisah yang dikuatirkan membuat gaduh harmonisasi hubungan keakraban sebagai manusia melaynesia. Praktek kolonisasi halus yang dimainkan oleh negara melalui TNI di komunitas masyarakat yang mengastanamakan Silo Karno Doga harus dilawan dan dihentikan, pemerintah Provinsi harus mengambil sikap yang serius terhadap manifestasi yang menjalur buruk tersebut. Sikap tegas tersebut akan menghormati sejarah budaya dan leluhur dikomunitas sasaran tersebut. Seruan kita segara cabut gelar adat yang dikukuh kepada pandam XVII Cenderawasih yang telah mengotori wibada dan jati diri orang beradat di Wamena, tanah yang digadaikan tidak mengukuti pelepasan adat yang sesungguhnya, pihak lain yang berkaitkan. Kisah Adat di Gadaikan  tersebut akan dicatat dalam  sejarah masyarakat adat di dunia ini.

_______________________
Romyforest
Mnukwar 30 Agustus 2018